6 Mei 2014

Tradisi Seba Suku Baduy



https://id.berita.yahoo.com- Sejumlah apria asal suku Baduy Dalam berjalan kaki di Kampung Petir, Serang dari Rangkasbitung (43 km) untuk mengikuti upacara Seba Baduy di Serang, Banten, Sabtu (3/5). Tradisi Seba dilakukan warga Baduy setiap tahun dengan menghadap sekaligus berkomunikasi dengan Bupati Lebak dan Gubernur Banten. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/ss/ama/14



TRADISI SEBA BADUY

Akibat Terobsesi Operasi Plastik

 Terobsesi Operasi Plastik, Model Asal Jepang Ini Malah Mirip Dobby di 'Harry Potter'
 Ingin tampil sempurna, cara apapun terkadang dilakukan tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Seperti halnya yang dilakukan oleh salah satu model asal Jepang bernama Rina Nanase yang melakukan operasi plastik berulang kali yang justru membuat wajahnya malah terlihat aneh.
Wanita berusia 25 tahun ini terobsesi untuk mempercantik wajahnya dengan operasi plastik. Saking terobsesinya, wajah Rina justru malah terlihat seperti Dobby, makhluk yang menjadi peri dalam film seri Harry Potter.
Kemiripan keduanya terdapat pada mata besar, hidung panjang, dan dagu yang lancip. Namun meski demikian, Rina ternyata justru malah bangga dengan keanehan wajahnya tersebut! Dalam fotonya sebelum operasi plastik, Rina terlihat manis seperti wanita Jepang pada umumnya.
Namun beberapa tahun terakhir ini, ia menjalani berbagai transformasi yang bisa terlihat dari berbagai foto terbaru yang diunggahnya. Rina benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda. Perbedaan terlihat dari bagian mata, hitung, dan dagu yang banyak menerima komentar negatif dari para fans.
Rina bahkan pernah mengunggah foto saat dirinya gagal melakukan operasi pada bagian matanya, yang meninggalkan kantung super mengerikan di bawah matanya. Seluruh area di sekitar matanya tampak bengkak, dan membuatnya ingin terus memperbaiki wajahnya.
Foto terakhirnya diunggah pada awal April 2014 lalu, dan kembali menuai kritikan super pedas. Beberapa orang menyangka apakah ia memiliki penyakit anoreksia yang membuatnya terlihat sangat kurus, ditambah lagi dengan bentuk dagunya yang super lancip.
“Seperti seorang alien”, “Benar-benar di luar kewajaran”, tulis para fans menanggapi  foto yang diunggah Rina. Rina pun kini diberi julukan sebagai ‘Dobby’, dan sepertinya ia tetap bangga dengan hal itu.

Sumber : https://id.she.yahoo.com/

Peti Mati Mini Dari Edinburgh

 Tahu jenglot, kan? Rupanya misteri figur mini yang terkait dengan kisah mistis bukan hanya ada di Indonesia. Masyarakat Skotlandia juga punya kisah yang mirip, yakni keberadaan peti-peti mati 10 centimeter berikut sosok mayat di dalamnya.



Kumpulan peti mati mini tersebut ditemukan tak sengaja tahun 1836 oleh lima anak yang sedang berburu kelinci di hutan Edinburgh. Konon, ada 17 peti mati.

Sayangnya banyak yang dihancurkan oleh anak-anak tersebut hingga tersisa 8 buah setelah Kepala Sekolah dibantu organisasi arkeologi menyelamatkannya. Kini bisa dilihat di Museum Nasional Skotlandia.


Menurut penelitian di lokasi situs, 17 peti mati mini disusun tiga tingkat. Di tingkat 1 dan 2, masing-masing berjejer 8 peti mati, sementara pada tingkat paling atas hanya ada 1 peti mati.

Yang masih jadi misteri adalah, setiap figur di dalam peti mati memakai pakaian yang dibuat manual (handmade) berbahan katun. Menurut ahli tekstil, katun jenis ini baru muncul setelah tahun 1800-an. Sementara dari hasil penelitian lain, figur-figur di dalam peti mati sudah ada sejak sekitar 1790, atau tahun sebelumnya.


Misteri berikutnya, para peneliti menduga pembuat peti dan figur di dalamnya adalah orang yang berbeda. Tampaknya peti mati yang dibuat tidak ditujukan untuk figur mayat mungil di dalamnya. Hal ini terlihat seolah ada pemaksaan memasukkan figur ke dalam peti, yang terlihat dari beberapa bagian lengan yang patah.

Lagipula figur-figur mini didandani sedemikian rupa, dengan sepatu bot, model pakaian berbeda-beda. Mereka mungkin ada, atau dibuat untuk hal lain, bukannya berbaring di dalam peti mati.

Belum terjawabnya asal-muasal peti mati dan figur mini tersebut memunculkan banyak teori dan dugaan. Ada yang menyebut itulah orang-orang yang jadi korban mantra tukang sihir. Ada juga yang mengaitkan dengan mitos dalam tradisi pemakaman Skotlandia kuno.



Sumber:
knowledgenuts

Nenek Moyang Kita Pemburu Kepala!

  Saya terkaget-kaget saat membaca majalah Historia yang isinya mengungkap sejarah kelam rakyat Nusantara tempo doeloe. Beberapa jurnal juga memuat hal yang sama. Pernah ada sebuah masa, ketika kebiadaban melekat erat jadi tradisi.

Mungkin kasus ini jadi alat serang yang menyebut masyarakat primitif memang biadab, karena itulah koloni orang barat (kulit putih) datang merubah masyarakat jadi lebih beradab. Satu sisi yang ada benarnya, walau tidak mutlak. Nyatanya, mereka juga sama biadabnya - dalam bentuk berbeda. Kasus penaklukan Amerika dan Australia, atau kemudian era wild west jadi contoh nyata.


Bagaimanapun, sejarah membantu kita belajar dari masa lalu, mengakui kesalahan, lalu mengambil hikmah untuk menjadi lebih baik di hari ini, dan masa depan.

Kisah kelam yang saya maksud adalah, saat nenek moyang kita pernah jadi pemburu kepala manusia. Dan, perilaku ini menyebar dari Barat hingga Timur, dari Aceh hingga Papua. Demikian uraiannya.



Aceh dan Sumatera
Marco Polo ternyata pernah berkunjung ke Sumatera. Dilaporkan, ia sempat mengunjungi Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia.

Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi pengikut ajaran Muhammad.

Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya. Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk meyakinkan pembacanya.

Selang lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.


Kalimantan
Dalam naskah Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku pemburu kepala di Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala itu disebut orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–, sebuah suku besar orang Dayak di pedalaman.

Mereka berkeliaran saat malam hari untuk memenggal dan mengoleksi kepala manusia. “Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.

Akhirnya sempat dibuat sebuah perjanjian antarsuku untuk menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau), dan memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama Rapat Damai Tumbang Anoi.

 Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal sebagai pemburu kepala musuh. Seorang penulis berkebangsaan Norwegia mengukuhkan citra itu melalui bukunya yang terbit pada 1881, The Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock menuliskan suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai. Setelah mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol kedewasaan.

Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala).

“Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”


Sulawesi
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.

Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).

Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa. Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah.

“Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller.

Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”

Ambon
Catatan sejarah memuat kisa perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram di tahun 1648. Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas. Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian. Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang Alifuru.

Tim kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak bisa menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan mengoleksi kepala musuhnya.

“Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan hasil penelitiannya mengenai kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku telah bekerja dengan baik, mereka tak berhasil menjelaskannya secara gamblang karena orang Alifuru sangat klenik. Mereka tak bisa memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air (Seram)”, Jurnal KITLV  Vol. 149 No. 2 (1993).

Tim hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya.
Anehnya, adat itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah Nusantara lainnya. 
Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik. Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC meski usaha itu akhirnya gagal.

--------
Uraian  di atas merupakan kajian sejarah yang menarik. Bisa saja kita keturunan dari mereka. Tapi, seperti disebut dalam catatan Marco Polo: saat menerima kedatangan agama, contohnya Islam maka perilaku berubah jadi lebih beradab.

Maka, apakah sekarang kita mau belajar memperbaiki atau malah terjebak mengulang kebiadaban seperti masa lalu? Bisa jadi, tafsir dan sentimen atas nama agama malah mengeluarkan kembali "gen biadab" lalu bertindak irrasional. Contoh nyata terlihat pada aksi gerombolan, ormas yang brutal, kan? Atau komentar penuh emosi di forum dan jejaring sosial internet.

Bukankah kita lebih baik bertransformasi, jadi "pemburu kepala" yang mencari manusia-manusia pintar untuk memajukan teknologi sehingga sumber daya alam bisa digunakan optimal untuk kesetaheraan rakyat, dan jadi bangsa yang mandiri.
 
Sumber:
historia

Penemuan Terbaru, Ternyata Perahu Nabi Nuh Berbentuk Bulat

 Jika ada perahu yang paling masyhur di seluruh dunia sepanjang masa, barangkali adalah perahu Nabi Nuh. Dalam kitab-kitab suci disebutkan, perahu besar ini menyelamatkan masing-masing sepasang dari setiap binatang dan beberapa manusia dari bencana banjir besar.


ilustrasi

Kini, muncul teori baru tentang perahu itu; tak berbentuk lebar memanjang seperti layaknya perahu, melainkan bulat. Selain itu, juga tak terbuat dari kayu, melainkan dari alang-alang.

Klaim ini muncul setelah ilmuwan berhasil memecahkan teka-teki sebuah benda persegi dari tanah liat yang diyakini berusia 4.000 tahun dari zaman Mesopotamia kuno. Benda persegi itu ditemukan seseorang selama Perang Dunia II di Irak, sebelum kemudian disimpan di sebuah museum di London.


Irving Finkel, kurator yang bertanggung jawab atas tablet tanah liat runcing itu di British Museum itu, menyatakan perahu Nuh kemungkinan terbuat dari ilalang dan aspal. Hal ini terungkap dalam teks yang terdapat dalam tanah liat itu.

Atram-Hasis, raja Sumeria yang diyakini adalah Nuh, diperintah untuk membakar rumah dan membuat perahu demi menyelamatkan diri dari banjir besar.

Teks dengan huruf Babilonia kuno ini menggambarkan bagaimana membangun bahtera dengan diameter 220 kaki, atau sekitar 67 meter dengan tinggi dinding 20 kaki, atau setara 6,09 meter.


Menurut teks yang terdapat dalam tanah liat itu, bahtera Nuh memiliki dua tingkat dan atap di atas. Dalam teks 60 baris ini, yang digambarkan Dr Finkel sebagai 'panduan konstruksi rinci untuk membangun sebuah bahtera', perahu dibuat dengan menyatukan alang-alang dengan menggunakan tali, sebelum kemudian diolesi dengan aspal untuk membuatnya tahan air.


Tablet ini dipamerkan di British Museum mulai hari ini. Ilmuwan akan merekonstruksi pembuatan perahu sesuai petunjuk di dalamnya, untuk melihat apakah bahtera itu benar-benar bisa berlayar.


Sumber :
tempo